jump to navigation

Zuhud, Perbaikan Mentalitas Diri ala Al-Ghazali 27 October 2010

Posted by Ghazalian Center in Atikel Ghazalian Center, Tasawuf.
2 comments

Seorang zâhid, bisa digambarkan sebagai seorang yang menghadapkan dirinya kepada Allah Swt. secara utuh, total dan sempurna, baik perilaku maupun pola pikirnya.

Judul: Zuhud, Perbaikan Mentalitas Diri ala Al-Ghazali

Penulis: Cholis Waidi

Genre: Artikel Bolos

Kajian:  Ghazalian Center


Zuhud adalah satu dari sikap kesempurnaan seorang hamba yang sedang berjalan menuju ridha Allah. Zuhud merupakan tanda kematangan iman dalam hubungan vertikal antara manusia dengan Allah. Mengaplikasikan zuhud sangat penting dalam kehidupan manusia, maka dalam tulisan singkat ini, penulis  mencoba memberi uraian terhadap beberpa poin penting berkenaan dengan tujuan dan fungsi dari zuhud yang banyak diusung oleh para ulama, khsususnya Imam Al-Ghazali.

Zuhud adalah sikap dan kecenderungan untuk menghindari dan mengisolasikan diri dari perkara-perkara duniawi demi mendapat ridha Allah Swt. Zuhud menimbulkan kecenderungan hubungan yang tinggi di antara manusia dengan Allah Swt. Hubungan yang dimaksud adalah hubungan yang diasaskan kepada rasa cinta kepada Allah. Di samping itu, kesan yang baik dan menyeluruh berlaku dalam tindak-tanduk seseorang.

Poin penting dari sikap zuhud adalah mengambil segala sesuatu yang ada di hadapannya sekadar untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan tanpa berlebih-lebihan.

Banyak orang berasumsi bahwa zuhud sering diartikan sebagai ungkapan atau refleksi sikap yang anti dunia, menjauh dari harta dan kedudukan, dan seringkali  menimbulkan kesan negaitif seakan-akan, seseorang yang sedang belajar berzuhud ia harus mengosongkan diri dari segala hal yang berbau keduniaan. Stigma seperti ini menimbulkan anggapan bahwa gambaran seorang zâhid berpenampilan lusuh, berpakaian compang-camping, bahkan kumuh.

Kelompok yang berasumsi seperti ini ada benarnya juga, namun tidak seluruhnya, mengingat ada banyak tawaran; seperti Mustafa Al-Ghilayani pengarang buku ‘Idzatun Nâsyi-în. Beliau mengatakan, bahwa zuhud tidaklah harus meninggalkan dunia seutuhnya, seseorang sudah diaggap zahid bila sudah bisa menempatkan posisi dunia secara proporsional, sesuai tempatnya, dan tidak berlebihan. (more…)

Tasawuf Sosial ala Bidâyatu al-Hidâyah 18 October 2010

Posted by Ghazalian Center in Atikel Ghazalian Center, Tasawuf.
2 comments

Dan bukanlah seorang yang bijak jika ia hanya memperdulikan diri sendiri tapi tidak mau peduli pada orang lain. Dan tidak dikatakan bertakwa jika hanya mementingkan hubungannya dengan Tuhan sedang hubungannya dengan sesama manusia kacau. Dan hanyalah orang bodoh yang mau menjadi lilin, sibuk berkorban untuk sosial sedang hak-hak dirinya sendiri ia lupakan.

Judul : Tasawuf Sosial ala Bidâyatu al-Hidâyah

Penulis : Imron Rosyidi Muhammad

Genre : Artikel Izin

Kajian :  Ghazalian Center

Imam Al-Ghazali yang lahir dengan nama Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i, menjadi seperti apa yang orang kenal tentangnya, adalah berkat masa yang ia hidup di dalamnya dan lingkunannya dimana ia berinteraksi dengan mereka.

Al-Ghazali hidup pada abad kelima Hijriah. Pada masa itu, kaum muslimin benar-benar terjerumus ke dalam polemik yang begitu memilukan. Perpecahan timbul dimana-mana. Tak terelakkan, kaum muslimin kala itu terpecah menjadi kelompok-kelompok dan golongan-golongan. Bahkan perpecahan tersebut merambat ke dalam wilayah mazhab, sekte aliran, bahkan aqidah.

para ulama pada masa tersebut mencari solusi yang bisa membawa kaum muslim menuju jaman kemajuan dan memperbaiki keadaan yang morat-marit. Namun, sayang sekali, lagi-lagi mereka terjebak dalam perdebatan dan perpecahan. Alih-alih menemukan solusi, malah mereka saling menyalahkan satu sama lain.

Dari sini, para ahli hikmah (sufi) dan para filsuf mengambil perannya. Mereka mengkolaborasikan antara ajaran-ajaran Islam dengan teori-teori filsafat yang lahir dari akal para filsuf. Dan mereka berusaha agar ketentuan-ketentuan agama itu tetap selaras dengan akal. Dan pada ujungnya, perkembangan filsafat saat itu ternyata tumbuh lebih pesat. Maka tersebarlah pemikiran-pemikiran yang didasari oleh akal hampir ke seluruh madzhab.

Hidup di zaman seperti ini, tak mengherankan jika Al-Ghazali melahirkan beberapa karya dalam beraneka ragam bidang. Mulai dari usul fiqh, kalam, filsafat hingga tasawuf. Semua itu ditujukan untuk membenahi kondisi masyarakat kala itu. Sebut saja karyanya yang berjudul Bidâyatu al-Hidâyah. Kitab ini, sederhana memang. Akan tetapi jika dicermati secara mendalam ada pesan penting yang ingn Al-Ghazali sampaikan di dalamnya.

Dalam muqaddimah kitab tersebut, Al-Ghazali mengingatkan kepada semua penuntut ilmu agar tujuan mencari ilmu hanyalah untuk mencari ridha Allah Swt. dan tidak mencari ilmu hanya untuk mencari jabatan di depan manusia.

(more…)

Peran Ibadah dalam Psikologi Manusia Menurut Imam Ghazali 16 October 2010

Posted by Ghazalian Center in Atikel Ghazalian Center, Tasawuf.
add a comment

Menurut Imam Ghazali; ibadah merupakan buah dari ilmu, semakin dalam ilmu yang dimiliki, semakin berarti ibadah yang dijalankan.

Judul artikel : Peran Ibadah dalam Psikologi Manusia Menurut Imam Ghazali

Penulis : Abdul Mughits

Kajian : Ghazalian Center

Genre : Artikel Telat

Tidak dapat dipungkiri bahwa pembaharuan bangsa arab khususnya (dan umat Islam umumnya) telah mengalami stagnasi sejak abad 13 M. Menurut para sejarawan, masa kejumudan ini berlangsung sejak abad 13 M (sejak mangkatnya sang maestro Ibn Khaldun) dengan magnum opusnya yang monumental, Al-Muqaddimah hingga akhir abad ke 19 M. Masa kevakuman dan kejumudan pemikiran yang begitu lama itu memberikan dampak yang keras bagi umat Islam pada zaman modern sekarang ini, terutama ketika  Eropa mengalami kemajuan yang sangat pesat diberbagai lini kehidupan dan selalu mengadakan pembaharuan. Beberapa tahun lalu, terjadi sebuah kejadian spektakuler, 30 negara eropa membentuk supranation EU (Europe Union) yang meleburkan sistem politik dan ekonomi.

Persatuan Eropa merupakan trobosan baru bagi sejarah Eropa, berbagai kemajuan diraih  Eropa yang menjadikannya qu’batu al-qusod bagi para sarjana dunia yang ingin mendalami dan mengembangkan keilmuanya. Begitu juga dalam percaturan di dunia politik dan ekonomi, Eropa  menjadi tolok ukur dunia. (more…)

Makna Ketakutan (Khauf) dalam Persepsi Imam Ghazali di Ihya Ulumuddîn 13 October 2010

Posted by Ghazalian Center in Atikel Ghazalian Center, Tasawuf.
add a comment

Rasa takut tersebut dianalogikan Al-Ghazali dengan cambuk untuk mempercepat jalan keledai. Dengan cambukan yang kuat, keledai bisa berjalan dengan cepat. Aplikasinya ada pada amal manusia. Rasa takut berfungsi untuk meningkatkan amal soleh seorang hamba. Cambuk rapuh yang tidak bisa membuat suatu kemajuan pada amal, hanya berupa rasa takut yang sia-sia atau bisa juga disebut dengan takut yang pura-pura.

Judul:  Makna Ketakutan (Khauf) dalam Persepsi Imam Ghazali di Ihya Ulumuddîn

Penulis: Faiq Hirata

Genre: Artikel Bolos

Kajian : Ghazalian Center

Sebagai seorang teosof (teolog sekaligus sufi), Al-Ghazali mempunyai konsentrasi yang lebih terhadap kebahagiaan akhirat. Berekspedisi menggeluti berbagai macam ilmu, dari metode rasionalitas sampai ke metode intuisi, Al-Ghazali mendapuk kehidupan akhirat sebagai tujuan manusia yang sebenarnya. Hal ini mulai kentara melalui karya-karyanya pasca skeptis selama 2 bulan. Lebih jauh lagi, ia menyatakan kenikmatan yang tak ada bandingannya, adalah saat-saat bertemu dengan Sang Pencipta kelak di akhirat.

Perhatian lebih terhadap kehidupan akhirat ini terlihat jelas pada muqadimah kitab Ihya Ulumuddîn. Dengan persepektif kehidupan akhirat sebagai pondasi, ia membagi kitab tersebut menjadi empat bagian yang kesemuanya ditujukan untuk kebahagiaan di dunia sebagai buahnya, dan di akhirat sebagai tujuan utamanya.

Empat bagian ini tidak bisa terlepas dari pembagian Al-Ghazali terhadap ilmu itu sendiri. Ia membagi ilmu yang mengantarkan manusia menuju kebahagiaan akhirat menjadi dua: ilmu muâmalah, dan ilmu mukâsyafah. Ilmu mukâsyafah sejatinya yang menjadi ilmu hakikat, yang hanya bisa dicapai oleh orang-orang tertentu (khawâs dan para ârifîn). Selain itu, ilmu mukâsyafah ini hanya diterangkan secara implisit oleh nabi sebagai pembawa risalahnya.

Sedangkan di dalam ihya’, seluruh pembahasannya hanya khusus pada ilmu-ilmumuâmalah (praktis). Karena ilmu muâmalah ini lah yang bisa dijangkau oleh seluruh kalangan umat. Ia kembali membagi ilmu muâmalah itu menjadi dua : ilmu dzhaîr dan ilmubathin, ilmu tentang keadaan-keadaan hati dan akhlaq.

(more…)

Transkip kajian GC; Psikologi Sufistik Imam Ghazali 11 October 2010

Posted by Ghazalian Center in Filsafat, Tasawuf.
add a comment

Al-Ghazali hanya melakukan optimalisasi fungsi pada peran masing-masing sumber pengetahuan agar tidak timpang ke kiri atau ke kanan, karena setiap entitas penangkap; baik hati, akal maupun panca indra semuanya salaing berdialektika secara komplementer satu sama lain dalam pemahaman ilmu. Seperti dianalogikan Al-Ghazali; hati itu ibarat raja, mentrinya akal dan pasukannya adalah panca indra. Dan psikologi bergenre keseimbangan entitas ini, dianggap melampaui psikologi modern yang hanya sampai pada titik matrealisme semisal Sigmun Freud dalamThe Mind Body Problems.

Tema : Psikologi Sufistik Imam Ghazali

Presentator: Ahmad Hilmy, Lc.

Tanggal: 01 Oktober 2010

Moderator: Muhammad Muslikhun

Transkiptor : Amirallah Asyarie,Lc.

“Dunia tidak membutuhkan orang-orang yang lambat”. Perkataan itu menjadi mantra sakti sahabat-sahabat Ghazalian Center untuk on time, tepat sebelum pukul 17.00 CLT. Berkaca dari bangsa Perancis yang maju karena menghargai waktu dan ketepatan.

Di selang kongko-kongko santai sebelum memulai kajian, terdengar certia dari dua sahabat GC yang hadir 2 jam sebelum kajian dimulai, Mughis dan Yazid. Entah karena semangat atau salah jam. Tapi yang jelas mereka tidak terlambat. Tidak salah lagi kesepakatan GC dipertemuan sebelumnya membuat keadaan ini berubah, dari hobi ngaret berjam-jam menjadi on time. Salah satu teman bilang “sekang di GC itu pake jam barat”, tepat dan anti toleransi dalam waktu. Tinggal pilih nulis atau on time.

Di akhir kongko, hampir semua teman terpingkal-pingkal mendengar cerita satu lagi korban “jam barat” yang harus terpaksa naik taksi dan membayar mahal agar datang tepat waktu. Dan beralasan sangat simpel, “dari pada harus dapat tambahan menulis lebih baik saya bayar taksi.” Ya, semoga ini menjadi awal yang baik dan terus dilestarikan.

Kajian hari itu pun dimulai, seluruh anggota GC yang hanya berjumlah kurang dari 10 orang terlihat amat confident. Hari itu tanggal 1 Oktober bertepatan dengan hari Kesaktian Pancasila yang sakral. Sang moderator saudara Muslihun membuka diskusi dengan cuap-cuap singkat berisi dan menyerahkan pembahasan bertema Psikologi Sufistik Imam Ghazali kepada sang presentator, Ahmad Hilmy, Lc.

Di awal orasinya presentator menekankan bahwa persepsi tasawuf yang sebenarnya adalah pencarian hakikat dan hikmah ilahiyyah dengan dzauq, bukan akal. Ini  teramat beda dengan demontrasi akal yang kerap menjadi standarisasi prolehan para filsuf. Ungkapan ini sepaham dengan perkataan Syekh Mahmud Mahmud Ghurab; bahwa bertasawuf adalah menghidupkan hati dan memprioritasan peranannya dalam menerima pancaran ilmu ilahi yang transandent. Imam Ghazali dam Mukâsyafât al-Qulûb dan Risâlah fî Ilm Laduni mangatakan; “hati adalah tempat pencurahan ilmu dan kesadaran yang hakiki. Hati memiliki pikiran dan logikanya sendiri yang tidak dimiliki akal.”

(more…)

Humanisme, Human Science, Positivismee [Revitalisasi Teori Ilmu Al-Ghazali] 25 September 2010

Posted by Ghazalian Center in Filsafat, Tasawuf.
add a comment

“Adapun matematika, bahasan seputar perhitungan dan teknik bangunan, sama sekali tak mengandung unsur yang bertentangan dengan akal, juga tidak pula bisa diingkari. Artinya, konsepsi, prosedur, dan rumus-rumus matematika sepenuhnya positif, pasti benar. Ini yang disebut dengan positivisme sains. [Al-Ghazali]”

 

Tema : Humanisme, Human Science, Positivismee [Revitalisasi Teori Ilmu Al-Ghazali]
Presentator : M. Nora Burhanuddin
Moderator : Ahmad Hilmy, Lc.
Tanggal : 19 september 2010
Tempat : Villa Bawabah II.
Transkiptor : Ahmad Hilmi, Lc.

“Manusia adalah satu-satunya makhluk yang membingungkan; ia tak mau sekedar disebut bodoh atau tak berpengetahuan. Apesnya, ia selalu memunculkan berbagai pertanyaan yang tak semuanya bisa dijawab sendiri”. Begitulah kalimat inti pembuka diskusi Ghazalian Center oleh presentator yang mengutip perkataan Immanuel Kant. Sebuah selorohan yang membuat semangat tersendiri bagi para peserta diskusan, terlebih diskusi diadakan bertepatan dengan momen Idul Fitri, sebuah momen yang masih menyentuh semangat kemanusiaan dan persaudaraan sebagai hasil dari spirit positivisme nilai agama yang banyak menelurkan spirit perdamaian yang menyatukan silaturrahim siapapun yang sebelumnya belum sempat disatukan.

Melanjutkan orasinya, rekan Nora mendedahkan bahwa Humanisme sebagai sebuah diskursus yang hadir setelah masa kebangkitan Eropa menampakkan getir perkembangannya ke arah rasionalitas yang membebaskan peran manusia sebagai makhluk yang berakal. Tetapi, humanisme masih mengalami problem serius dalam pembahasannya seputar kemanusiaan secara baik dan tepat. Bahkan, humanisme hanya berhasil menjadi persiapan masuknya babakan baru dalam sejarah Eropa, selebihnya GAGAL. Kurang lebih ini disampaikan oleh Michel Foucoult. Ia melanjutkan: “…they were not be able to conceive of man. Man, in analytic of finitude, is strange empirico-transcendental doublet since he is a being such that knowledge will be attained in him of what renders all knowledge possible…”.

(more…)